Orang yang Menghutangi Malah Berdosa, Ternyata Ini Penyebabnya
Hutang-piutang menjadi sangat jamak pada masyarakat kita. Bahkan Rasulullah sendiri pernah berhutang pada seorang Yahudi, namun dengan tanggungan baju besi miliknya.
Jadi bukan hanya sekedar hutang tanpa memberi tanggungan, yang menunjukkan kesungguhan orang yang berhutang sekaligus memberi rasa tenang bagi orang yang menghutangi.
Aisyah radhiallahu ‘anhaa, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membeli makanan dari seorang yahudi dengan berhutang dan beliau menggadaikan baju perangnya dari besi.” (HR Al-Bukhari no 2252 dan Muslim no 1603)
Saat Rasulullah berhutang, ada beberapa hal yang ingin diperlihatkan pada umatnya, yakni:
1. Beliau adalah manusia biasa yang juga kerap mengalami kekurangan dalam hidupnya. Beliau juga ingin menunjukkan pada umatnya, pada dasarnya orang yang mau menghutangi seseorang karena benar-benar membutuhkan, adalah hal yang sangat mulia, karena meringankan beban saudaranya.
2. Beliau berhutang bukan karena hobi, dan bukan berulangkali melakukannya jika tidak karena terpaksa.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dan dalam hadits peringatan akan beratnya permasalan hutang, dan bahwasanya tidak sepantasnya seseorang berhutang kecuali dalam kondisi darurat.” (Fathul Baari 4/468)
3. Berhutang itu akan mengikuti seseorang sampai ia membayar, walau sudah berkalang tanah dan ia seorang mujahid sekalipun:
Terbunuh di jalan Allah menghapuskan seluruhnya kecuali hutang” (HR. Muslim no 1886)
4. Di akheratpun, utang akan dipertanyakan, sekaligus mengurangi pahalanya, sampai ada keluarga yang bersedia membayarnya. Rasulullah pun tidak mau menshalati orang yang punya hutang, sampai ada yang membayarkannya.
Dari Salamah bin al-Akwa’ radhiallahu ‘anh, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam didatangkan kepada beliau jenazah, maka beliau berkata, “Apakah dia memiliki hutang?”.
Mereka mengatakan, “Tidak”.
Maka Nabipun menyolatkannya. Lalu didatangkan janazah yang lain, maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata, “Apakah ia memiliki hutang?”,
Mereka mengatakan, “Iya”,
Nabi berkata, “Sholatkanlah saudara kalian”.
Abu Qotadah berkata, “Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah”. Maka Nabipun menyolatkannya” (HR Al-Bukhari no 2295).
Mengapa ayat yang menyitir tentang hutang dan banyak ancaman lagi bagi orang yang berhutang? Hal ini menunjukkan jika bermuamalah satu ini bukan hal main-main yang patut disepelekan.
Orang yang berhutang karena alasan terpaksa dan darurat merupakan hal yang dibolehkan. Sedang orang yang menghutangi, karena kelonggaran hatinya untuk memberikan uang pada seseorang dalam keadaan membutuhkan, pahala untuknya.
Untuk itu, hutang piutang selayaknya dicatat, ada barang yang menjadi tanggungan, ada orang yang menjadi saksi (jika hutang dalam jumlah banyak), dan selaiknya ada kepastian kapan hutang itu dibayar.
Perlu catat, tidak semua orang yang meluluskan uangnya untuk dihutangi adalah orang yang benar-benar longgar dalam segi keuangannya.
Ia patut untuk diberi kepastian kapan hutangnya terbayar, bukan malah menunda-nunda pembayarannya, karena Rasulullah bersabda:
“Memperlambat pembayaran hutang untuk orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman.”(HR Al-Bukhaari no. 2288 dan Muslim no. 4002/1564).
Hal yang patut menjadi perhatian selanjutnya adalah pihak penghutang janganlah sungkan untuk menagih hutangnya, saat waktu telah ditentukan. Bisa jadi pihak yang berhutang lupa, namun yang sering terjadi adalah belum mempunyai uang untuk membayar hutang.
Namun jika pihak yang berhutang itu belum bisa melunasi sampai ia meninggal, apakah ia terbebas dari itu? Tentu saja tidak, jika belum terlunaskan juga oleh ahli waris, hutang itu akan dikurangi dengan amal-amal baiknya di dunia.
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).
Selain itu, orang yang berhutang jika tidak dilunasi sampai ia meninggal, jiwanya akan terkatung-katung dialam barzah dan dianggap sebagai ‘pencuri’ diakherat kelak, dimana Al Munawi menyatakan, jika orang yang berniat seperti itu akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka lakukan. Faidul Qodir, 3/181).
Lalu, bagaimana dengan nasib orang yang menghutangi saat ia sungkan untuk mengingatkan, sampai orang yang berhutang meninggal, apakah ia akan juga menanggung dosa karena sikapnya?
Ada beberapa hal yang bisa ditangkap dari hal ini:
1. Jika orang yang menghutangi sungkan untuk menanyakan atau mengingatkan tentang hutang dikarenakan ia merasa kasihan dan bermaksud memberi tangguh waktu sampai orang yang berhutang memperoleh kelapangan (atau bahkan berniat menyedekahkan sebagian atau seluruhnya) , tentu akan mendapat pahala dari Allah:
”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan, dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqoroh : 280).
2. Allah akan memberi kemaafan terhadap pihak yang beri hutang, meski ia tidak mempunyai amalan baik lainnya, saat ia memberi tangguh (tidak menagih pada pihak yang tidak mampu) atau merelakan utang tersebut. Hal ini terlihat dari sebuah kisah dibawah ini:
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda,”Sesungguhnya ada seorang yang tidak pernah beramal sama sekali, tapi ia mengutangi orang lain dan ia selalu mengatakan kepada utusannya yang ditugasi untuk menagih utang, ambillah utang dari orang yang mampu membayarnya, dan tinggalkan orang yang tidak mampu membayarnya serta relakanlah utang tersebut, semoga Allah juga merelakan dosa kita (memaafkan kita)’. Maka tatkala ia meninggal dunia, ia pun ditanya,’pernahkah kamu beramal baik?’
Dia menjawab, ‘Belum pernah. Akan tetapi, aku memiliki seorang pembantu dan aku mengutangi orang. Jika aku menyuruhnya untuk menagih hutang, selalu kukatakan kepadanya, ambillah hutang dari orang yang mampu membayarnya, dan tinggalkan orang yang tidak mampu membayarnya serta relakanlah utang tersebut, semoga Allah juga merelakan dosa kita’. Maka Allah berfirman, ‘Aku telah memaafkanmu,’”. (HR. Imam Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
3. Jika orang yang memberi hutang berniat tidak mengingatkan atau menagih hutangnya karena ingin memberi pelajaran atau inginkan orang berhutang itu mendapatkan balasannya di akherat kelak, maka hal ini tentu berdosa, karena niatnya sudah menjerumuskan orang yang berhutang.
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits).
Dari ketiga hal tersebut bisa disimpulkan jika orang yang menghutangi dengan ikhlas dan sungkan mengingatkan karena sebagai niatan untuk memberi tenggang waktu agar orang yang menghutangi punya waktu untuk bisa membayarnya, tentu ini adalah sesuatu yang baik dan berpahala.
Kecuali niatnya memberikan pelajaran pada orang berhutang, agar mendapat balasan di akherat kelak, hal ini tentu mendapatkan dosa. Semoga kita terbebas dari hutang.
Artikel Asli
Jadi bukan hanya sekedar hutang tanpa memberi tanggungan, yang menunjukkan kesungguhan orang yang berhutang sekaligus memberi rasa tenang bagi orang yang menghutangi.
Aisyah radhiallahu ‘anhaa, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membeli makanan dari seorang yahudi dengan berhutang dan beliau menggadaikan baju perangnya dari besi.” (HR Al-Bukhari no 2252 dan Muslim no 1603)
Saat Rasulullah berhutang, ada beberapa hal yang ingin diperlihatkan pada umatnya, yakni:
1. Beliau adalah manusia biasa yang juga kerap mengalami kekurangan dalam hidupnya. Beliau juga ingin menunjukkan pada umatnya, pada dasarnya orang yang mau menghutangi seseorang karena benar-benar membutuhkan, adalah hal yang sangat mulia, karena meringankan beban saudaranya.
2. Beliau berhutang bukan karena hobi, dan bukan berulangkali melakukannya jika tidak karena terpaksa.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dan dalam hadits peringatan akan beratnya permasalan hutang, dan bahwasanya tidak sepantasnya seseorang berhutang kecuali dalam kondisi darurat.” (Fathul Baari 4/468)
3. Berhutang itu akan mengikuti seseorang sampai ia membayar, walau sudah berkalang tanah dan ia seorang mujahid sekalipun:
Terbunuh di jalan Allah menghapuskan seluruhnya kecuali hutang” (HR. Muslim no 1886)
4. Di akheratpun, utang akan dipertanyakan, sekaligus mengurangi pahalanya, sampai ada keluarga yang bersedia membayarnya. Rasulullah pun tidak mau menshalati orang yang punya hutang, sampai ada yang membayarkannya.
Dari Salamah bin al-Akwa’ radhiallahu ‘anh, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam didatangkan kepada beliau jenazah, maka beliau berkata, “Apakah dia memiliki hutang?”.
Mereka mengatakan, “Tidak”.
Maka Nabipun menyolatkannya. Lalu didatangkan janazah yang lain, maka Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata, “Apakah ia memiliki hutang?”,
Mereka mengatakan, “Iya”,
Nabi berkata, “Sholatkanlah saudara kalian”.
Abu Qotadah berkata, “Aku yang menanggung hutangnya wahai Rasulullah”. Maka Nabipun menyolatkannya” (HR Al-Bukhari no 2295).
Mengapa ayat yang menyitir tentang hutang dan banyak ancaman lagi bagi orang yang berhutang? Hal ini menunjukkan jika bermuamalah satu ini bukan hal main-main yang patut disepelekan.
Orang yang berhutang karena alasan terpaksa dan darurat merupakan hal yang dibolehkan. Sedang orang yang menghutangi, karena kelonggaran hatinya untuk memberikan uang pada seseorang dalam keadaan membutuhkan, pahala untuknya.
Untuk itu, hutang piutang selayaknya dicatat, ada barang yang menjadi tanggungan, ada orang yang menjadi saksi (jika hutang dalam jumlah banyak), dan selaiknya ada kepastian kapan hutang itu dibayar.
Perlu catat, tidak semua orang yang meluluskan uangnya untuk dihutangi adalah orang yang benar-benar longgar dalam segi keuangannya.
Ia patut untuk diberi kepastian kapan hutangnya terbayar, bukan malah menunda-nunda pembayarannya, karena Rasulullah bersabda:
“Memperlambat pembayaran hutang untuk orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman.”(HR Al-Bukhaari no. 2288 dan Muslim no. 4002/1564).
Hal yang patut menjadi perhatian selanjutnya adalah pihak penghutang janganlah sungkan untuk menagih hutangnya, saat waktu telah ditentukan. Bisa jadi pihak yang berhutang lupa, namun yang sering terjadi adalah belum mempunyai uang untuk membayar hutang.
Namun jika pihak yang berhutang itu belum bisa melunasi sampai ia meninggal, apakah ia terbebas dari itu? Tentu saja tidak, jika belum terlunaskan juga oleh ahli waris, hutang itu akan dikurangi dengan amal-amal baiknya di dunia.
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih).
Selain itu, orang yang berhutang jika tidak dilunasi sampai ia meninggal, jiwanya akan terkatung-katung dialam barzah dan dianggap sebagai ‘pencuri’ diakherat kelak, dimana Al Munawi menyatakan, jika orang yang berniat seperti itu akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka lakukan. Faidul Qodir, 3/181).
Lalu, bagaimana dengan nasib orang yang menghutangi saat ia sungkan untuk mengingatkan, sampai orang yang berhutang meninggal, apakah ia akan juga menanggung dosa karena sikapnya?
Ada beberapa hal yang bisa ditangkap dari hal ini:
1. Jika orang yang menghutangi sungkan untuk menanyakan atau mengingatkan tentang hutang dikarenakan ia merasa kasihan dan bermaksud memberi tangguh waktu sampai orang yang berhutang memperoleh kelapangan (atau bahkan berniat menyedekahkan sebagian atau seluruhnya) , tentu akan mendapat pahala dari Allah:
”Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan, dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqoroh : 280).
2. Allah akan memberi kemaafan terhadap pihak yang beri hutang, meski ia tidak mempunyai amalan baik lainnya, saat ia memberi tangguh (tidak menagih pada pihak yang tidak mampu) atau merelakan utang tersebut. Hal ini terlihat dari sebuah kisah dibawah ini:
Dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda,”Sesungguhnya ada seorang yang tidak pernah beramal sama sekali, tapi ia mengutangi orang lain dan ia selalu mengatakan kepada utusannya yang ditugasi untuk menagih utang, ambillah utang dari orang yang mampu membayarnya, dan tinggalkan orang yang tidak mampu membayarnya serta relakanlah utang tersebut, semoga Allah juga merelakan dosa kita (memaafkan kita)’. Maka tatkala ia meninggal dunia, ia pun ditanya,’pernahkah kamu beramal baik?’
Dia menjawab, ‘Belum pernah. Akan tetapi, aku memiliki seorang pembantu dan aku mengutangi orang. Jika aku menyuruhnya untuk menagih hutang, selalu kukatakan kepadanya, ambillah hutang dari orang yang mampu membayarnya, dan tinggalkan orang yang tidak mampu membayarnya serta relakanlah utang tersebut, semoga Allah juga merelakan dosa kita’. Maka Allah berfirman, ‘Aku telah memaafkanmu,’”. (HR. Imam Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
3. Jika orang yang memberi hutang berniat tidak mengingatkan atau menagih hutangnya karena ingin memberi pelajaran atau inginkan orang berhutang itu mendapatkan balasannya di akherat kelak, maka hal ini tentu berdosa, karena niatnya sudah menjerumuskan orang yang berhutang.
Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits).
Dari ketiga hal tersebut bisa disimpulkan jika orang yang menghutangi dengan ikhlas dan sungkan mengingatkan karena sebagai niatan untuk memberi tenggang waktu agar orang yang menghutangi punya waktu untuk bisa membayarnya, tentu ini adalah sesuatu yang baik dan berpahala.
Kecuali niatnya memberikan pelajaran pada orang berhutang, agar mendapat balasan di akherat kelak, hal ini tentu mendapatkan dosa. Semoga kita terbebas dari hutang.
Artikel Asli
Posting Komentar untuk "Orang yang Menghutangi Malah Berdosa, Ternyata Ini Penyebabnya"